microsoft office 2021 full version free download
Oktober 18, 2021
MENUAI
SENJATA DI MASA DAMAI
Oleh
Letkol
Arm Oke Kistiyanto, S.AP.
Dandim
0103/Aceh Utara Korem 011/LW Kodam IM
Pendahuluan.
Di awal Januari 2019, rakyat
Indonesia dikejutkan dengan penyerahan 8 pucuk senjata api dan 800 amunisi sisa
konflik Aceh ke Kodam Iskandar Muda (IM). Penyerahan senjata api secara damai
dari dua orang personel mantan kombatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) kepada
Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko , telah menambah
catatan panjang keberhasilan Kodam IM dalam mendapatkan pucuk senjata api pasca
kesepakatan damai MoU Helsinki yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 silam.
Keberhasilan “menuai senjata di masa damai” ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari tugas-tugas teritorial Kodam IM dalam rangka mencapai sasaran
Binter TNI AD untuk menciptakan ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh di
daerah bekas konflik provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebagai daerah otonomi khusus,
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki kekhasan "lex specialis"
dibanding daerah lain di Indonesia, ditandai dengan adanya UUPA no.11 tahun
2006 yang mengatur semua aspek kehidupan di Aceh. Hal ini merupakan
tindaklanjut dari MoU Helsinki tahun 2005 yang didalamnya mengatur tentang pemusnahan
senjata yang digunakan pada masa konflik.
Menindaklanjuti hal tersebut,
Kodam IM sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah RI memiliki “tugas khusus”
untuk mengumpulkan senjata api ilegal yang masih beredar di masyarakat.
Diharapkan kedepannya seluruh senjata api sisa konflik baik itu laras panjang,
laras pendek, standar atau rakitan beserta pelontar/granat/mortir maupun
amunisi yang disimpan oleh masyarakat terutama mereka yang mantan anggota GAM,
diserahkan kepada TNI AD khususnya Kodam Iskandar Muda secara damai. Namun
kenyataannya, mencapai titik kesadaran masyarakat untuk menyerahkan sisa
senjata api pasca konflik secara damai tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Tentu saja keberhasilan tugas-tugas teritorial tidak lepas dari penguasaan
kemampuan teritorial dari pelaksana Binter itu sendiri. Harapannya dengan
adanya bekal ilmu teritorial yang cukup ditambah dengan adaptasi penerapannya
di lapangan maka aktualisasi kemampuan teritorial yang dimiliki oleh seluruh
Apter akan membuahkan hasil sesuai dengan ekspektasi dan menciptakan efek
domino dalam penugasan yang sama di daerah pasca konflik. Sayangnya kenyataan
berkata lain.
Dari sisi aparat teritorial,
baik itu Babinsa maupun Danramil, walaupun sudah dibekali dengan ilmu kemampuan
teritorial, tidak semua aparat teritorial mampu melaksanakan apa yang
diharapkan oleh pimpinan ketika beraktualisasi dalam tugas di lapangan. Bahkan
dari data yang ada, persentase jumlah senjata api yang diterima aparat
teritorial dari masyarakat setiap tahunnya semakin menurun sedangkan tren
penerimaan dari satuan Non Kowil seperti satuan intelijen, satuan tempur maupun
badan pelaksana Kodam semakin meningkat. Ini bisa dilihat dari indikator data
kuantitatif keberhasilan perolehan senjata di Kodam IM oleh satuan Kowil
menurun pada tahun 2018 dan terus menurun di tahun 2019. Sedangkan dari sisi
satuan Non Kowil malah menunjukkan tren peningkatan (lihat tabel). Data fakta
di atas merupakan puncak gunung es atau tip of iceberg yang menjadi indikator
dari beberapa permasalahan yang dihadapi oleh satuan Kowil di Kodam IM saat ini
dalam melaksanakan Binter.
Dalam penelitian sebelumnya
(Feb-Mei 2019), penulis menemukan bahwa
ternyata keberhasilan tugas menuai senjata di masa damai bukan semata dari
penerapan ilmu-ilmu teritorial yang dipelajari di Lemdik atau doktrin-doktrin
teritorial melainkan dari implementasi akan pemahaman psikologi dan motivasi
manusia. Ini terbukti dari hasil penelitian sebelumnya yang mana berhasil
membuktikan bahwa persentase terbesar yang berhasil meraih senjata adalah
satuan Non Kowil (gambar 1). Dan dari hasil wawancara banyak yang menyampaikan
(terutama dari satuan non teritorial) tidak berpedoman pada metode Binter yang
ada sedangkan Apter ada yang menggunakan metode Komsos, ada juga yang berdasarkan
pengalaman dinas saja. Ini sungguh mengejutkan karena doktrin yang dipelajari
sudah bagaikan kitab suci di kalangan aparat teritorial, sehingga saran pada
tulisan sebelumnya adalah perlunya penelitian lanjutan yang lebih mendalam
untuk meneliti faktor-faktor yang digunakan prajurit Kodam IM dalam upayanya
menuai senjata di masa damai. Faktor tersebut adalah motivasi psikologis.
Pelaksanaan Tugas Menuai
Senjata Di Masa Damai.
Berdasarkan hasil penelitian
terhadap data perolehan senjata Sinteldam IM, persentase komparasi perolehan
senjata antara Satkowil dan Sat Non Kowil periode kepemimpinan Pangdam IM
Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko (20 bulan), ternyata sudah berubah (gambar 2)
dibandingkan penelitian sebelumnya. Sat Kowil memiliki perolehan persentase
perolehan senjata tertinggi (65 pucuk/30%) dibandingkan Satpur (58 pucuk/27%),
Sat Balak (47 pucuk/22 %) dan Sat Intel (45 pucuk/21%). Perubahan data ini
mengindikasikan bahwa ada “sesuatu” yang merangsang Sat Kowil untuk berbuat
lebih dibandingkan Sat Non Kowil. Hasil penelitian secara kuantitatif ini juga
menegasi hasil penelitian penulis sebelumnya yang mengatakan bahwa kemampuan
Sat Kowil melaksanakan tugas dalam menuai senjata di masa damai saat ini kalah
dengan Sat Non Kowil.
Kemudian jika dibandingkan
dengan data perolehan senjata pasca diberikannya penghargaan Kasad berupa KPLB
dan prioritas jabatan/pendidikan (gambar 3) maka terlihat kenaikan signifikan
yang mana puncaknya pada pasca periode penghargaan KPLB kedua (Jul 19 hingga
Feb 20) dengan persentase kenaikan penerimaan senjata hampir mencapai 100%
dibandingkan periode sebelumnya
Melihat perkembangan grafik di
atas, dapat disimpulkan bahwa iming-iming pemberian KPLB dan prioritas
jabatan/pendidikan dari Kasad terbukti menjadi faktor pemacu semangat dan
motivasi psikologis para prajurit Kodam IM (Dansat dan anggota) untuk
berlomba-lomba melaksanakan tugas menuai senjata di masa damai pada jaman
kepemimpinan Pangdam IM Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko. Jika dikaitkan
dengan teori MICE, ini termasuk dalam faktor M atau Money (uang). Uang yang
dimaksud dalam arti harfiah yakni dengan adanya penghargaan KPLB dan prioritas
jabatan/pendidikan maka akan meningkatkan taraf kesejahteraan prajurit.
Kesejahteraan prajurit yang dimaksud adalah jabatan yang lebih baik dan gaji
yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ini yang dimaksud uang secara harfiah.
Penerapan teori motivasi pada
pola umum menuai senjata di masa damai (Teori Persuasi Militer Oke 2020).
Walaupun teknik dan metode
dalam menuai senjata di masa damai yang dilakukan oleh tiap-tiap satuan Kodam
IM selama ini berbeda-beda, namun dari hasil penelitian di lapangan, jika
dilihat secara umum maka akan terlihat beberapa kesamaan pola yang dilakukan.
Pola ini di deskripsikan penulis sebagai temuan grounded theory melalui “Teori
Persuasi Militer Oke 2020” seperti bagan di bawah ini (gambar 4). Teori Persuasi Militer Oke 2020, merupakan
penggabungan antara langkah-langkah pada roda rekrutmen agen Intelijen CIA
(Agent Recruitment Cycle) dengan teori motivasi MICE dan RASCLS.
Langkah-langkah menuai senjata yang dilakukan satuan terdiri dari delapan
tahapan yakni 1) info kepemilikan senjata api, 2) perintah laksanakan
pendekatan, 3) pendekatan dengan pola komsos dan pendekatan motivasi
psikologis, 4) perintah laksanakan pemenuhan kebutuhan, 5) proses pemenuhan
kebutuhan, 6) proses meminta senjata, 7) proses penyerahan senjata, 8) proses
pemberian hadiah.
Bisa dilihat dari bagan di
atas, bahwa seluruh keberhasilan menuai senjata api ilegal di masa damai diawali dengan adanya informasi
kepemilikan senjata di masyarakat (lihat No. 1). Ada dua sumber informasi yang
digunakan selama ini. Pertama adalah data intelijen teritorial. Data ini
diperoleh dari data mantan personel mantan kombatan yang tersimpan di Kodim
maupun di Koramil. Data ini juga bisa diperoleh dari informasi intelijen yang
diperoleh dari badan intelijen teritorial yang dimiliki oleh Unit Intel Kodim,
Korem maupun satuan intelijen lainnya yang sedang melaksanakan tugas di daerah
tersebut. Kemudian sumber informasi kedua adalah kemampuan penguasaan wilayah
yang dimiliki oleh prajurit. Anggota Satpur seperti prajurit jajaran Brigif
25/Siwah menggunakan prinsip ibu asuh sebagai tempat pesiar IB sehingga mereka
mudah mendapat akses informasi. Sedangkan para Dansat yang sudah berdinas lama
di Kodam IM, mendapatkan informasi dari para kenalan ketika berdinas di daerah.
Sebagai contoh Kababinminvetcaddam IM Kolonel Inf Teguh Wiyono, berhasil
mendapatkan 9 pucuk senjata yang berasal dari berbagai daerah di Aceh, padahal
beliau berdinas di Banda Aceh. Kata beliau kuncinya adalah kemampuan menjaga
relasi kawan lama menjadi kunci keberhasilannya. Motivasi psikologis obyek
digolongkan elemen L atau liking (kesukaan) dari teori RASCLS.
Setelah didapat informasi
kepemilikan senjata, maka Dansat, biasanya memberi perintah kepada prajurit
untuk dilakukan pendekatan (lihat No.2). Model pendekatan yang dilakukan oleh
prajurit kebanyakan menggunakan metode komunikasi sosial maupun metode
pendekatan psikologis (MICE atau RASCLS) sesuai kemampuan masing-masing (lihat No.3).
Pendekatan ini tidak dibatasi oleh waktu. Kebanyakan dari mereka yang berhasil
melakukan pendekatan, memiliki sifat extrovert, kepribadian terbuka, senang
bergaul, menyukai keramaian, dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap apa
yang terjadi di sekitar mereka. Dengan sifat extrovert yang dimiliki maka sikap
teritorial yang diajarkan selama ini dengan mudah melakukan pendekatan. Namun
tidak menutup kemungkinan prajurit yang memiliki sifat introvert juga bisa
berhasil dalam pelaksanaan tugas. Dari beberapa peristiwa penyerahan senjata
api ilegal dari masyarakat mantan kombatan kepada satuan Kowil, ternyata
lamanya waktu pendekatan sangat berpengaruh. Babinsa yang sudah memiliki
hubungan batin lama, baik dalam bentuk hubungan persahabatan dan pertemanan,
ternyata lebih memiliki kecenderungan berhasil dibandingkan dengan Babinsa yang
baru ditugaskan ke daerah. Mereka ternyata telah memiliki hubungan bukan hanya
dalam hitungan bulan bahkan tahunan. Dari hasil penelitian didapat bahwa subyek
mendekati obyek menggunakan pendekatan teori RASCLS: timbal balik (R),
kelangkaan (S), konsistensi (C), kesukaan (L) dan bukti sosial (S) serta teori
MICE: uang (M), ideologi (I), kompromi (C). Sedangkan kewenangan (A) pada teori
RASCLS dan E pada teori MICE tidak digunakan dalam proses ini.
Setelah dilaksanakan
pendekatan, maka langkah selanjutnya adalah upaya-upaya untuk memenuhi
kebutuhan sasaran. Dari hasil beberapa wawancara yang dilakukan, peran perintah
atasan (lihat No.4) untuk memenuhi kebutuhan sasaran merupakan faktor kunci
yang menentukan keberhasilan upaya-upaya mendapatkan senjata secara damai dari
masyarakat. Penelitian secara kualitatif terhadap beberapa responden prajurit
menunjukkan bahwa tanpa adanya perintah, mereka cenderung kurang fokus untuk
menyelesaikan tugas khusus ini. Ini terlihat ketika pada tahapan pemenuhan
kebutuhan sasaran setelah dilakukan pendekatan. Dampaknya, informasi intelijen
yang didapat, menjadi partikel bebas dan akhirnya hanya menjadi rahasia umum di
kalangan mereka sendiri (kembali ke No.3). Ketergantungan prajurit pada
perintah atasan merupakan kelemahan. Fokus dalam penyelesaian tugas menjadi
kata kunci untuk menutupi kelemahan ini. Memahami MICE dan RASCLS menjadi kunci
keberhasilan pemenuhan kebutuhan (lihat No.5). Hasil penelitian membuktikan
bahwa prajurit yang mengimplementasikan teori RASCLS: timbal balik (R),
kelangkaan (S), konsistensi (C), kesukaan (L) dan bukti sosial (S) serta teori
MICE: uang (M), ideologi (I), kompromi (C) memiliki tingkat keberhasilan lebih
tinggi dalam menggalang obyek (mantan kombatan GAM).
Keberhasilan dalam pemenuhan
kebutuhan akan membuat obyek tergalang dan bisa mulai proses untuk meminta
senjata (lihat No.6). Namun keberhasilan menggalang obyek tentunya tidak hanya
dipengaruhi oleh kegigihan dan fokus tidaknya subyek dalam melaksanakan tugas,
namun juga perlu dilihat dari faktor keikhlasan target atau sasaran untuk
menyerahkan senjata api yang mereka miliki selama ini (lihat No.7). Hadiah
(lihat No.8) merupakan sarana kontak sekaligus ucapan terima kasih, beberapa
responden tidak menampik mereka memberikan ini ke mantan kombatan. Jika dilihat
dari peristiwa penyerahan senjata secara damai kepada Kodam IM, baik itu kepada
satuan Kowil maupun satuan Non Kowil, tidak ada mantan kombatan yang mau
diekspos jati dirinya. Rata-rata senjata yang diserahkan kepada aparat ditaruh
di tempat tertentu, seperti di bawah kandang sapi maupun ditanam di kebun/hutan
sekitar. Sdr. Rahmat dan Sdr. Sopyan mengatakan ketika diwawancarai, secara
psikologis mantan kombatan juga memiliki komunitas. Komunitas tersebut memiliki
aturan tidak tertulis yang secara ketat akan melabeli seseorang yang
menyerahkan senjata api ke aparat sebagai pengkhianat. Responden mengatakan
bahwa apabila mereka sudah di cap sebagai pengkhianat dalam komunitas tersebut,
maka keselamatan diri, jiwa dan keluarga mereka akan menjadi taruhannya. Inilah
pentingnya komitmen dan konsistensi dari prajurit (Dansat dan anggota) untuk
menjaga kerahasiaan identitas demi keselamatan diri, jiwa dan keluarga sasaran.
Setelah penyerahan senjata dilakukan, walau mereka tidak memiliki senjata lagi,
mereka tetap berguna bagi satuan sebagai panah (informan).
Faktor berpengaruh.
Ini perlu disampaikan oleh
penulis dikarenakan tujuan penelitian salah satunya secara praktis diharapkan
bisa dijadikan sebagai salah satu bahan
pelajaran yang dapat dipetik (lessons learned) bagi pelaksanaan tugas serupa di
lingkungan TNI khususnya di Kodam-kodam lainnya yang berada di daerah konflik
seperti di Papua dan Poso. Antropologi dan sosiologi masyarakat Aceh yang
merupakan daerah pasca konflik, adat istiadat, budaya dan kearifan lokalnya
serta agama yang homogen mayoritas muslim menjadi faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan ketika teori persuasi militer Oke 2020 akan diterapkan ke
daerah lain yang merupakan “gudang-gudang senjata ilegal” seperti Papua dan
Poso. Karena hasil penelitian sosial kadang kala butuh adaptasi dan tidak bisa
diterapkan secara “apple to apple”.
Kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut: a) Kemampuan mendayagunakan pemahaman akan motivasi
manusia merupakan kunci yang menjadi rahasia keberhasilan dalam upaya menuai
senjata di masa damai oleh Kodam IM pada masa kepemimpinan Pangdam IM Mayjen
TNI Teguh Arief Indratmoko (2018 - 2020). b) Kenaikan persentase keberhasilan
upaya menuai senjata di masa damai oleh Kodam IM melalui analisa data sekunder
terbukti dipengaruhi oleh hadiah penghargaan Kasad berupa KPLB, prioritas
mendapatkan jabatan dan sekolah. ini termasuk dalam faktor M atau Money (uang)
dalam teori MICE. Uang yang dimaksud dalam arti harfiah yakni dengan adanya
penghargaan KPLB dan prioritas jabatan/pendidikan maka akan meningkatkan taraf
kesejahteraan prajurit. Kesejahteraan prajurit yang dimaksud adalah jabatan
yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi dari sebelumnya. c) Motivasi subyek
(Dansat dan anggota) dipengaruhi oleh faktor MCE dari teori MICE dengan
indikator paling dominan adalah faktor C (paksaan) melalui perintah/atensi
pimpinan. Faktor perintah/atensi pimpinan juga menjadi kunci agar anggota
produktif menjalankan tugas menuai senjata, karena ditemukan sifat kurang
peduli dan ketergantungan anggota akan perintah atasan. d) Motivasi obyek untuk
menyerahkan senjata yang dimiliki dipengaruhi oleh faktor timbal balik (R),
kelangkaan (S), konsistensi (C), kesukaan (L) dan bukti sosial (S) dari teori
RASCLS serta faktor uang (M), ideologi (I), kompromi (C) teori MICE. Kemampuan
subyek dalam mengolah rasa (persuasif) ketika tahap 5 pemenuhan kebutuhan
menjadi kunci keberhasilan penggalangan. e) Hasil penelitian dengan pendekatan
teori dasar (grounded theory) memberikan kesimpulan bahwa walaupun teknik dan
metode dalam menuai senjata di masa damai yang dilakukan oleh tiap-tiap satuan
selama ini berbeda-beda, namun jika dilihat secara umum maka akan terlihat
beberapa kesamaan pola yang dilakukan. Pola ini di deskripsikan penulis melalui
gagasan “Teori Persuasi Militer Oke 2020”. Teori ini menjadi pedoman awal dalam
pelaksanaan tugas jika satuan lain ingin benchmark keberhasilan yang ada.
Demikian esai ini disusun
sebagai sumbangan pemikiran penulis, semoga bermanfaat serta memiliki nilai
guna bagi TNI dan bangsa Indonesia dalam melaksanakan tugas “menuai senjata di
masa damai” di “gudang-gudang senjata ilegal” di seluruh wilayah nusantara
kedepannya. Akhir kata seperti kata pepatah “those who fail to learn the
lessons of history are doomed to repeat it.” (George Santayana). Semoga kita
semua tidak terjebak dalam kesalahan sejarah berulang-ulang.
Penulis : Letkol Arm Oke
Kistiyanto, S.AP.
Dandim 0103/Aceh Utara Korem 011/LW Kodam IM