microsoft office 2021 full version free download
Oktober 18, 2021
Ancaman
Instabilitas Kawasan
Kita
memiliki tanggung jawab konstitusi untuk melindungi negeri dari “konflik” dua
kekuatan besar yang berhadap-hadapan. Indonesia harus mampu memanfaatkan ruang
negosiasi dengan semua elemen terkait.
Oleh Iftitah Suryanagara
5 Oktober 2021 07:00 WIB
Indonesia siaga. Ketika
Indonesia tengah bergulat dengan persoalan pandemi Covid-19 dan dampak
ekonominya, eskalasi situasi keamanan di kawasan meningkat.
Di utara, dominasi China di
Laut China Selatan (LCS) kian kuat. Tanpa izin Indonesia, enam kapal perang
China, melintasi laut Natuna Utara pada 13 September 2021. Di selatan, Perdana
Menteri (PM) Australia Scott Morisson bersama Presiden AS dan PM Inggris
mengumumkan pakta pertahanan AUKUS (Australia, United Kingdom, United States)
pada 15 September 2021.
Pengumuman ini membangkitkan
memori masa Perang Dingin. Sebab, bersatunya ketiga negara itu diyakini sebagai
wujud perimbangan terhadap kekuatan China di kawasan Indo-Pasifik. Melalui
AUKUS, Australia dapat membangun kapal selam bertenaga nuklir, teknologi
kecerdasan buatan (artificial intelligence), teknologi kuantum, dan juga siber.
Di sisi lain, China mengecam
aliansi itu sebagai ”ancaman tidak bertanggung jawab”. China juga menuding
AUKUS mencederai komitmen zona bebas nuklir di Pasifik Selatan. Reaksi ini
menunjukkan terganggunya Beijing, yang pada satu dekade terakhir menguasai
kawasan.
Pola aliansi
Pakta AUKUS berbeda dengan
ANZUS (Australia, New Zealand, United States), yang lahir pasca-Perang Dunia
(PD) II. Namun, keduanya memiliki pola serupa. Australia menjadi elemen proksi
kekuatan Barat, untuk menghadapi ancaman hegemoni dari timur. Morgenthau (1948)
menyebutnya sebagai balance of power.
Kehadiran AUKUS tentu akan
berimplikasi signifikan terhadap perebutan sumber energi baru di kawasan. Menguatnya
tren industri otomotif bertenaga listrik butuh komoditas nikel dan lithium
sebagai bahan baku baterai. Dengan stok nikel terbesar di dunia, Indonesia
jelas diperebutkan.
Ada yang menuding, nikel
dijual murah ke China dan Indonesia terlalu berpihak pada tenaga kerja asing
(TKA). Merespons tudingan itu, pemerintah telah merancang pembangunan pabrik
baterai listrik dengan China dan Korsel. Nilai investasi Rp 296 triliun.
Namun, kerja sama dengan satu
kekuatan saja hanya akan memancing reaksi kekuatan lain. Indonesia akan dipaksa
menuruti ritme dan kepentingan setiap aktor besar. Karena itu, Indonesia bisa
belajar pada sejarah Timur Tengah.
Kepemilikan atas sumber energi
baru justru berubah jadi petaka. Negara yang kaya akan minyak dan gas menjadi
medan pertarungan antarkekuatan global. Dari wilayah aman dan damai, menjadi
area pertempuran dan konflik tak berkesudahan. Bahkan, bukan tidak mungkin
menjadi arena adu domba sesama anak bangsa.
Respons cepat
Merespons situasi ini,
Indonesia tak boleh hanya menunggu manuver dari setiap pihak. Indonesia harus
segera mengaktifkan peran intelijen. Membuka mata dan telinga, untuk memahami
peta dan arah kekuatan di kawasan.
Konsentrasi pada masalah
domestik dan terorisme tak boleh mengesampingkan persoalan strategis di
Indo-Pasifik. Indonesia harus menyadari kerentanan bangsa; bukan hanya
strategis dari sisi geografis dan sumber daya, melainkan juga menentukan arah
ideologi kawasan.
Setiap manuver kekuatan Barat
dan Timur bisa memunculkan dampak serius terhadap agenda kepentingan
ekonomi-politik dan kedaulatan Indonesia. Jangan sampai kita lengah dan tak
mampu mengantisipasi perubahan situasi.
Untuk itu, Indonesia perlu
melakukan tiga hal. Pertama, Indonesia melaksanakan kebijakan politik luar
negeri bebas aktif kepada siapa pun, selama tak menjadi ancaman bagi kita.
Dominasi salah satu kekuatan
hampir pasti tak akan menguntungkan kepentingan nasional. Dulu, Jepang
menguasai Asia Pasifik karena Sekutu terlambat mengantisipasi dominasi Jepang.
Kini, China telah mendominasi kekuatan ekonomi di Indo-Pasifik.
Jika tak dilakukan
pengimbangan, China bisa mengooptasi kekuatan negara-negara di kawasan. Bahkan,
membuatnya jadi ”sapi perah” untuk menopang fondasi kekuatan ekonomi dan
pengaruh politiknya. Karena itu, Indonesia harus menjaga independensi dan
mengurangi ketergantungan ekonomi-politiknya agar tak hancur di tengah dua
raksasa yang sedang bertarung.
Poros tengah
Kedua, selain komunikasi
intensif dengan dua kekuatan, Indonesia perlu membangun diplomasi untuk
membentuk poros tengah. Indonesia harus lebih bersahabat dan pro demokrasi
dalam kehidupan bernegara sehingga tidak menjadi ancaman bagi siapapun.
Indonesia dapat menggandeng
negara-negara di Asia Tenggara, terutama yang terlibat dalam sengketa di LCS.
Indonesia juga bisa menggandeng Selandia Baru. Meski ”Negeri Kiwi” itu anggota
The Five Eyes, yakni aliansi intelijen lima negara (AS, Inggris, Selandia Baru,
Australia, Kanada), Selandia Baru menolak pakta nuklir AUKUS itu.
Pada 1984, Selandia Baru juga
keluar dari ANZUS, sebagai aksi protes terhadap AS, yang menempatkan kapal
selam nuklirnya di Pasifik. Kekuatan tengah ini diharapkan bisa mengimbangi
setiap manuver di antara dua kutub kekuatan, baik AUKUS maupun China.
Ketiga, seluruh komponen
kekuasaan di Indonesia harus bersatu dan menjaga soliditas. Jangan mudah
dipecah belah dan diadu domba (devide et impera) oleh siapa pun juga. Agenda
pencapaian kepentingan nasional harus dikawal bersama-sama. Pemanfaatan sumber
daya yang selama ini dieksploitasi oleh negara-negara asing atas nama investasi
harus dicermati kembali.
Investasi tentu penting,
tetapi harus menguntungkan kedua belah pihak. Baik dari sisi transfer
pengetahuan, bagi hasil yang menguntungkan, maupun keberlanjutannya. Asing tak
boleh mengeksploitasi dan menciptakan kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya
hanya akan menjadi beban bagi kita.
Karena itu, keterlibatan
masyarakat sebagai pemilik sumber daya menjadi keniscayaan.
Jangan lupakan sejarah, kata
Bung Karno, salah satu pendiri bangsa kita. Begitu juga, kita tak boleh
melupakan masa penjajahan ratusan tahun oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda
(VOC) yang awalnya datang untuk berinvestasi dan berbisnis.
Kita memiliki tanggung jawab
konstitusi untuk melindungi negeri dari ”konflik” dua kekuatan besar yang
berhadap-hadapan. Indonesia harus mampu memanfaatkan ruang negosiasi dengan
semua elemen terkait, untuk mendapatkan ”keuntungan strategis”. Dengan jalan
ini, kita akan mampu mengubah ancaman di kawasan menjadi peluang besar menuju
kebangkitan nasional.
Iftitah Suryanagara
CEO and Founder Romeo
Strategic Consulting;
Alumnus US Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, AS